Salatiga_Lanikunume, 23 Agustus 2020 Otsus Krisis Menyebabkan Identitas Orang Papua
OTSUS) bagi Provinsi Papua adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Pemberian kewenangan tersebut dilakukan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua dapat memenuhi rasa keadilan, mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Asli Papua.
Otsus diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001. Peraturan ini disahkan di Jakarta pada 21 November 2001 oleh Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri. Otsus memberikan kewenangan lebih bagi Papua dibanding daerah lain yang diperoleh dari otonomi daerah biasa.
Jauh sebelum adanya otsus, orang Papua telah hidup mandiri dengan nilai-nilai budayanya di atas tanahnya sendiri dengan sistem pendidikan berdasarkan nilai-nilai adat Papua yang diajarkan turun-temurun oleh nenek moyang orang Papua tentang bagaimana pola hidup dan bekerja di kampung halamannya dengan bekerja bersama di kebun-kebun, untuk berburu, memancing dan bagaimana membangun rumah dengan pengetahuan yang tinggi.
Tengan pernyataan dan juga pujian oleh George Junus Aditjondro (Ibid. Aditjondro, hal.50) terhadap kehebatan teknologi orang pedalaman Papua, ‘’ Para petani di Lembah Balim misalnya, memiliki budaya pertanian umbi-umbian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam”.
Orang Papua mampu menciptakan berbagai teknologi seperti noken, koteka, gelang, makota, menara pengintai musuh, dengan pengetahuan yang tinggi. Satu hal yang identik dari orang Papua adalah bahasa daerah yang dimiliki hampir setiap suku, sekitar 250 bahasa.
Otsus memberikan kewenangan kepada Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi cultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini; (uu otsus no 21. Bab 1, pasal 1 huruf g). Kewenangan yang diberikan kepada MRP ini guna untuk mengatur dan mengelola kebudayaan orang Papua sebagai jati diri orang Papua itu sendiri dan demi keberlangsungan hidup orang Papua ditanahnya sendiri.
Setelah berjalanannya uu otsus selama hampir 19 tahun di tanah Papua, orang Papua justru mengalami krisis identitas, hal-hal menyangkut kewenangan MRP yang seharusnya diatur melalui perdasus, tidak perna terlaksana, hal ini diakui oleh Gubernur Papua Lukas Enembe dalam wawancara pada salah satu acara televisi mata najwa bahwa “undang-undang 21 itu tidak berjalan, hanya dikasih uang begitu saja kan, kewenangan tidak ada".
Justru melalui otsus pola pendidikan yang dibagun adalah pola-pola yang menghancurkan nilai-nilai pendidikan orang Papua dan dipaksakan dengan pola pendidikan yang mengajarkan orang Papua tentang bagaimana orang Papua harus bekerja untuk mendapatkan uang dan bersekolah untuk menjadi pegawai negri sipil (PNS), bukan mengajarkan untuk bagaimana bekerja bersama di kebun-kebun, berburu, memancing dan bagaimana membangun rumah, serta pengelolaan sumber daya manusia sesuai kebutuhan sumber daya alam agar kehidupan orang Papua bisa eksis ditengah era globalisasi. Ketika orang Papua bekerja untuk mendapatkan uang demi membayar biaya pendidikan, orang Papua akan berpikir untuk bekerja demi kebutuhannya sendiri dan bukan untuk sesama seperti yang dilakukan dikampung. Pola pendidikan lain justru memaksa orang Papua untuk untuk harus menggunakan bahasa Indonesia dan kebudayaan orang jawa, bukan tentang pola pendidikan bahasa daerahnya sendiri dan kebudayaannya agar orang Papua mengerti dan memahami akan kebutuhannya serta apa yang harus dilakukannya.
Sehingga kami mahasiswa, Jayawijaya, Tolikara, Lani Jaya, Mambramo Tengah, Yalimo yang berstudi di kota Salatiga menolak wacana pemerintah untuk melanjutkan otsus kepada orang Papua. Hal-hal dalam mengatur pola pendidikan diatas melalui MRP sudah seharusnya terlaksana namun terkesan pemerintah pusat memberikan otsus hanya sebatas uang dan pemekaran daerah yang membuat orang Papua menjadi orang yang malas, bersifat konsumtif, ketergantungan, dan budak penguasa sehingga menyebabkan hilangnya identitas orang Papua sebagai orang yang yang memilik jatidiri sebagai pekerja keras, jenius, berpendidikan, berbudaya dan mandiri.
Sumber:
1.https://bpkad.papua.go.id/dana-otsus/18/penerimaan-dalam-rangka-pelaksanaan-otonomi-khusus-bagi-provinsi-papua.htm
2.Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua http://www.theceli.com/dokumen/produk/2001/21-2001.htm
3.Pemusnahan Etnis Melanesia (Socrates Sofyan Yoman)
4. "Otsus Papua Sudah Gagal, Tak Perlu Diperpanjang Lagi", https://tirto.id/fUaR
5.https://wow.tribunnews.com/2019/08/22/saat-najwa-shihab-kaget-gubernur-papua-tak-percaya-undang-undang-gubernur-tak-percaya-uu-pak-lukas
Video klip:
Penulis: Herry G W
Publisher: admin
0 Komentar